Saturday, February 11, 2023

Saya yang tidak baik-baik saja.

Mungkin memang sudah jalannya, kalau saya tiba-tiba collapse dan masuk rumah sakit. Salah satu hal yang paling saya benci, sebenarnya.

Hari itu hari yang biasa, hari yang sama sibuknya dengan hari-hari lain di kantor belakangan ini karena ada suatu project yang saya handle. Hari itu berjalan dengan biasa, sampai saat saya berjalan kaki menuju halte bus untuk pulang, ada keanehan yang saya rasakan di badan saya.

Sampai ke rumah, saya makin merasakan ketidakberdayaan. Di saat itu, saya juga antara sadar dan tidak sadar. Saya hanya ingat dengan grup telegram bertiga saya dan teman-teman satu tim saya di departemen yang dulu. Saya minta dipesankan makanan untuk besok, karena sepertinya saya tidak dapat mengusahakan makanan untuk saya sendiri. Sampai situ saya masih berusaha mengirimkan voice note dengan tangan bergetar, yang saya sendiri juga lupa apa yang saya ucapkan.

Yang saya ingat, saya menelepon salah satu teman saya yang memang sering saya hubungi, yang juga seorang psikolog. Saya sangat butuh bantuan waktu itu. Dan saya dibimbing untuk bisa tenang.

Ternyata, teman saya dan istrinya datang menjemput saya untuk membawa ke IGD. Sebenarnya, ke rumah sakit adalah hal yang paling amat saya hindari. Saya menolak, tapi saya juga tidak berdaya. Hingga akhirnya saya dibawa ke rumah sakit dan makin histeris.

Berakhir dengan saya dirawat inap dua hari di unit psikiatri salah satu rumah sakit di Jakarta.

Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman saya, terutama kedua teman kerja saya di grup yang mau ga tidur membawa saya ke rumah sakit dan mengurusi segala keperluannya. Kemudian teman saya yang lain bergantian menjaga saya dan memenuhi seluruh kebutuhan saya sebelum orang tua saya datang. Menghubungi keluarga dan atasan saya juga mereka yang melakukan. Juga teman saya yang mau ditelepon tengah malam untuk menenangkan saya. Saya merasa sungguh beruntung masih dikelilingi orang yang baik.

Dari kejadian ini, saya menjadi lebih sadar akan diri saya. Saya tidak baik-baik saja, dan memang saya perlu bantuan. Bahwa saya ternyata ada di kondisi dimana saya perlu obat dan penanganan khusus. Konsultasi psikiater. Hal yang saya tutup-tutupi, terbuka dan saya harus berdamai dengan itu.

Childfree

Saya igin membahas topik ini dari sisi saya, karena saya sendiri orang yang menginginkan memiliki anak, tapi saya juga setuju untuk tidak punya anak.

_______

Sebelum menikah, saya dan istri sudah menyamakan pandangan terhadap ini. Saya menanyakan kepadanya, apakah mau punya anak? Dia menjawab iya, dan menginginkan segera memiliki anak setelah kami menikah. Saya pun begitu, saya telah lama menginginkan kehadiran anak, ingin mendidiknya, memberi kasih sayang dan perhatian agar ia tumbuh menjadi manusia yang lebih baik dari kedua orang tuanya.

Masih ingat saat itu, setiap mendekati waktunya istri saya datang bulan kami semakin deg-degan, apakah dapat? apakah belum? sekali, dua kali, dan di bulan ketiga kami menikah, istri saya hamil. Alhamdulillah, kami sangat bersyukur atas kehadiran calon anak kami dalam kandungan istri saya.

Begitu besar perhatian kami, dari gizi yang kami siapkan, dokter, rumah sakit, dan biaya persalinan, sampai sekolah anak kami kelak. Nama anak kami sudah kami siapkan bahkan dari bulan pertama kehamilan istri saya, sampai TK, SD, dan tabungan biaya sekolah sudah kami siapkan.

Namun jalan takdir kita, Tuhan yang menentukan. Saya kehilangan istri dan anak kami.

______


Setelah kepergian mereka, saya tidak memiliki keinginan lagi untuk menikah dan memiliki anak lagi. Saya memutuskan untuk mempersiapkan hidup saya tanpa anak.

Dari niat kita untuk memiliki anak, untuk apa? Agar kita tidak kesepian di usia tua kita? Agar ada yang mengurus di saat kita tidak sehat lagi? Agar ada yang menjamin kehidupan tua kita? Wah, begitu egoisnya kita ya.

Punya anak itu sesuatu yang sepenuhnya kita sadari dan bisa kita rencanakan. Punya anak itu bukan... surprise, ga ada angin ga ada hujan tiba2 ada aja. Enggak, punya anak itu ada proses dan decision making di dalamnya. Punya anak itu ya dari unprotected sex. Kalau ingin punya anak, ya dilakukan, kalau tidak punya anak, jangan dilakukan. Kalau sudah diusahakan tapi tidak dapat, ya memang bukan rezeki kita. Kita hanya bisa menjalankan hidup yang sudah ditentukan Tuhan, bukan?

Usia manusia tidak ada yang tahu. Apakah kita begitu yakinnya akan takdir Tuhan, sehingga kita dapat memastikan usia anak kita melebihi kita? Mereka lebih sehat dari kita? Pun apabila usia mereka lebih panjang dari kita, apakah kita tega mereka mengorbankan masa depan dan cita-cita mereka demi mengurusi kita? Wah, kalau saya sih ga tega.

Kalaupun anak saya masih hidup, saya tidak akan membebankan apapun padanya. Mau jadi apapun ia, saya dukung. Hidup pasti ada naik dan turunnya, untuk mencapai sesuatu pasti kita akan menemui kesulitan dan kegagalan, dan itu proses. Kesalahan dalam menentukan pilihan hidup juga proses, dan dari situ ia bisa belajar dan menjadi manusia seutuhnya. Kehidupan ia, saya hanya bisa sebatas memberikan dukungan fasilitas. Mau hidup jadi apapun dan dimanapun, silahkan. Sedangkan untuk diri saya, saya yang akan mengusahakan hidup saya sendiri sampai mati.

Mempersiapkan kehidupan kita nantinya adalah tanggung jawab kita, bukan anak kita. Saya tidak akan memberikan tanggung jawab itu pada siapapapun, tidak pada pasangan, tidak pada anak, tidak pada orang tua, tidak pada saudara, tidak pada keponakan dan kerabat, tidak pada teman. Tidak pada siapapun. Saya menjaga kesehatan dari usia muda, demi kesehatan saya nantinya. Saya menjaga pengeluaran, menabung, mempersiapkan dana untuk masa tua saya. Saya yang akan membayar jika nantinya saya sudah renta dan tidak sanggup menjalankan semua sendiri sehingga butuh bantuan orang lain. Panti jompo saya yang siapkan. Helper ada dengan bayaran dari saya. Fasilitas kesehatan ada dari asuransi yang saya bayarkan. Pemakaman dan segala layanannya pun harus saya sendiri yang mengusahakan dengan menyiapkan sebelumnya. Dimanapun kita hidup, disana kita yang berjuang.

Saya harap, anda ingin memiliki anak untuk kepentingan anak anda, bukan untuk kepentingan anda dan pasangan. Please, kalau ingin punya anak karena kesepian atau takut kesepian di masa tua, sadarilah bahwa lambat laun anak anda akan meninggalkan anda, dan mereka juga punya hak untuk mengejar kebahagiannya dimanapun mereka inginkan, bahkan di tempat yang jauh sekalipun, yang tidak memungkinkan kalian untuk sering-sering bercengkerama dan bersua.

Kalau pun tidak ingin memiliki anak, itu hak anda, keputusan anda. Mau memberikan opini dimanapun, dengan cara halus ataupun kasar, itu hak anda. Hak kita juga untuk tersulut emosi ataupun tidak menggubris. Hidup sudah sulit, mengapa kita persulit sendiri?